Kisah Seorang Ex Napi yang Pernah Terluka Karena Membela Kepentingan Rakyat

oleh -480 Dilihat
Ketgam : Seorang Ex Napi Karena Membela Rakyat, Bukan Napi Karena Maling Uang Rakyat

Berkabar.co – Konawe Utara. Ini adalah kisah seorang aktivis Konawe Utara yang pernah Terluka Karena membela Kepentingan Masyarakat.

Dia lahir di Kendari, 15 Oktober 1985. Dia anak kedua dari lima bersaudara. Ayahnya telah tiada, dan ibunya adalah perempuan hebat dan kuat dari Konawe Utara yang membesarkan mereka dengan segala keterbatasan. Dia bukan siapa-siapa. Dia hanya anak kampung, seorang suami, dan ayah dari anak anak yang dia cintai dengan segenap hati.

Dia kuliah dan berhasil meraih gelar sarjana. Tapi gelar itu tidak serta-merta mengubah hidupnya. Bahkan Sampai hari ini dia tidak punya pekerjaan tetap. Dia bekerja serabutan untuk bisa terus menghidupi keluarganya. Mirisnya sampai saat ini pun dia belum punya rumah sendiri. Dia tinggal di rumah kontrakan yang sederhana, dan seringkali diambang tak mampu bayar.

Berdasarkan Pandangannya, “hidup bukan hanya tentang apa yang kita miliki, kadang hidup justru tentang apa yang sanggup kita korbankan.”

Dia memilih jalan yang sunyi: jalan membela mereka yang tidak punya suara. Dia berdiri di sisi masyarakat yang terpinggirkan, petani yang kehilangan tanahnya karena tambang, orang tua yang tak tahu harus mengadu ke mana, dan anak-anak muda yang tumbuh di tengah janji-janji palsu.

BACA JUGA:  Marzuq Muammar, S.Ars : Dampak Tambang Nikel di Sultra Jauh Lebih Parah dari Raja Ampat

Dia tidak punya kekuatan besar. Hanya suara, kaki, dan hati yang tidak bisa diam melihat ketidakadilan.

Dia aktif berdemonstrasi, Dia berdiri di garis depan, bukan untuk mencari musuh, tapi karena dia tidak bisa pura-pura tidak melihat. Tapi ternyata keberpihakan itu ada harganya. Dia difitnah dan dihina. Dia di caci maki dan diintimidasi. Bahkan dia pernah merasakan perihnya jeruji besi/penjara.

Dua tahun.
Dua tahun dia menjalani hukuman atas tuduhan yang tak pernah dia lakukan (membakar). Dalam persidangan, Dia tidak terbukti membakar siapa pun. Tapi karena dia dianggap “penanggung jawab aksi”, maka dari itu ia harus mendekam di balik jeruji. Dia dipindah-pindahkan dari satu penjara ke penjara lain. Empat kali dia berpindah tempat. Bukan karena dia berbahaya, tapi karena dia terlalu kritis tetap bersuara walau di dalam penjara.

BACA JUGA:  LSS Umumkan Hasil Survei Opini Publik Terhadap Dinamika Politik dan Pemerintahan di Butur

Selama di penjara, tidak ada yang datang membesuknya. Tidak satu pun dari masyarakat yang pernah dia bantu muncul di balik jeruji untuk memberi kabar. Dia paham. Mereka mungkin takut, mungkin tak tahu, atau mungkin juga mereka hanya manusia biasa yang sibuk dengan lukanya sendiri.

Dia tidak menyimpan dendam. Tidak juga berharap balas jasa. Yang dia simpan adalah pelajaran: bahwa kebaikan tidak selalu dibalas. Tapi itu tidak pernah menjadi alasan untuk dia berhenti berbuat baik.

Sampai Hari ini, dia masih tinggal di rumah kontrakan. Dia masih hidup pas-pasan. Tapi Dia bersyukur. Karena dia tahu, hidupnya bukan soal kaya atau tidak, hidup adalah soal makna yang abadi, melampaui materi.
Dan jika dia harus kembali memilih, Dia akan tetap berdiri di tempat yang sama, di sisi mereka yang tidak berani bersuara.

Dia Adalah Hendrik, Yang pernah disakiti karena membela kepentingan orang banyak. Dan dia tidak menyesal. Karena dari luka itulah dia belajar menjadi manusia yg utuh. (**)

 

Laporan : Redaksi