Ketua Koalisi Rakyat Konut, Jangan Buka Lembaran Baru di Blok Mandiodo Jika Hak Rakyat Belum di Selesaikan

oleh -315 Dilihat

Berkabar.co – Konawe Utara. Sejarah Mandiodo adalah sejarah luka. Luka tentang janji-janji kemakmuran yang berubah menjadi konflik, tentang hutan yang dirusak demi produksi, dan tentang rakyat kecil yang berulang kali tersingkir dari haknya. Kini, ketika PT Antam kembali membawa kuota produksi besar, kita harus menuntut satu prinsip sederhana: jangan buka lembaran baru sebelum hak rakyat diselesaikan.

Luka masa lalu bukan sekadar catatan, melainkan peta risiko. Ketika pola lama yang memadukan modal, permainan dokumen, dan kelalaian pengawasan dibiarkan kembali, dampaknya bukan hanya pada lingkungan dan ekonomi, melainkan trauma sosial yang berulang dari generasi ke generasi.

Bukti nyata dari pola berulang itu terlihat dalam aksi-aksi protes, bentrokan, dan tekanan sosial yang pernah mewarnai Mandiodo ketika PT Antam beroperasi. Ricuh, korban luka, dan kegelisahan sosial menjadi warisan pahit dari operasi tambang yang tidak pernah selesai dengan adil.

Mandiodo juga menyisakan jejak panjang di meja hukum. Nama-nama pejabat, pelaksana, dan kontraktor pernah ditetapkan tersangka, diperiksa, bahkan dijatuhi hukuman. Proses pidana dan perdata yang berlapis menegaskan: PT Antam tidak sedang berjalan di jalan lurus, tetapi di jalan berliku penuh polemik. Luka hukum ini belum tuntas, namun Antam kembali ingin melangkah dengan wajah baru.

Isu terbaru mempertegas luka lama: sidang lapangan di PN Unaaha bersama BPN untuk memverifikasi batas sengketa antara warga dan PT Antam. Lahan seluas 15 hektare yang diklaim oleh warga dengan bukti SKT dan putusan hingga kasasi, tetap dikuasai dan dikeruk. Inilah ironi paling telanjang: rakyat menang di atas kertas, namun kalah di tanah sendiri.

BACA JUGA:  Diduga Kebijakan Merumahkan Honorer tidak Sesuai Prosedur, Aktivis Forkawa Konut Ilham,S.Sos Berharap Plt Kasatpol PP Konut di Copot dari Jabatannya

Klaim โ€œkompensasi sudah dibayarโ€ yang dilontarkan PT Antam justru membuka luka lain. Mekanisme pembayaran dipertanyakan, sebagian dialihkan ke pihak yang bukan pemilik sah. Inilah wajah ketidakadilan struktural: rakyat dipaksa menyerah pada logika kuasa modal yang tidak pernah transparan.

Situasi ini melahirkan dua bahaya sekaligus. Pertama, hukum formal kehilangan makna di lapangan. Kedua, risiko konflik horizontal โ€” rakyat melawan rakyat, kelompok melawan kelompok โ€” menjadi bara yang siap meledak. Inilah bahaya nyata jika PT Antam terus memaksakan operasi tanpa menyelesaikan sengketa lahan lebih dahulu.

Kita harus berani mengatakan: PT Antam tidak boleh melangkah lebih jauh sebelum hak-hak rakyat kecil dipulihkan. Menunda penyelesaian sengketa sama artinya memilih konflik sebagai harga yang harus dibayar.

Pemilik lahan yang berjuang hari ini, sebut saja BM dan sejumlah nama lain, hanyalah simbol dari keresahan rakyat banyak. Mereka bukan sekadar individu, melainkan wajah dari komunitas yang haknya terancam dihapus oleh lembaran kontrak dan ekskavator perusahaan.

Pemerintah dan aparat hukum, termasuk pengadilan dan BPN, harus mengedepankan transparansi. Sidang lapangan bukan sekadar ritual legitimasi, tetapi ujian integritas: apakah hukum berdiri di sisi rakyat, atau tunduk pada modal?

BACA JUGA:  Ketua Percasi Konut, Olahraga Catur memiliki peran strategis dalam pembentukan karakter dan kecerdasan generasi muda

PT Antam, sebagai perusahaan negara, juga harus menahan diri. Melanjutkan produksi di tengah sengketa bukan hanya merendahkan martabat perusahaan, tetapi juga mempermalukan negara di hadapan rakyatnya sendiri.

Solusi konkret harus segera dijalankan: moratorium operasi di lahan sengketa, audit independen atas kompensasi, mediasi melibatkan masyarakat, dan keterbukaan data publik tentang kuota serta pembayaran. Jika tidak, kehadiran PT Antam hanya akan mengulang luka lama dengan wajah baru.

Mandiodo bukan hanya soal tambang nikel. Ia adalah soal martabat rakyat, soal keberanian negara menegakkan hukum, dan soal masa depan sosial-lingkungan sebuah daerah. Jika PT Antam ingin kembali hadir, maka syaratnya hanya satu: datanglah sebagai cahaya, bukan bayangan gelap. Hadir sebagai pemulih luka, bukan penambah luka.

Mandiodo sudah cukup mengajarkan bahwa ketamakan hanya melahirkan korban. Kini, pertaruhan kita bukan hanya pada output produksi, tetapi pada pilihan moral: berpihak pada rakyat kecil, atau kembali menjadi budak modal.

Jangan ulangi tragedi. Selesaikan hak rakyat lebih dulu, baru bicara produksi. Jika tidak, PT Antam akan dikenang bukan sebagai perusahaan negara yang membanggakan, melainkan sebagai wajah luka yang terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

 

Laporan : Redaksi