Berkabar.co – Jakarta – Pemerintah pusat memutuskan untuk memangkas alokasi Transfer ke Daerah (TKD) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 sebesar Rp 227 triliun. Kebijakan yang mengejutkan ini menuai sorotan luas, baik dari kalangan pemerintah daerah maupun publik, lantaran TKD selama ini menjadi urat nadi pembiayaan pembangunan dan pelayanan dasar di tingkat lokal.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan, keputusan ini tidak diambil secara tiba-tiba. Menurutnya, banyak dana transfer daerah yang justru tidak dimanfaatkan secara optimal, bahkan terindikasi menyimpang dari tujuan awal.
“Alasan utama pemotongan ini adalah karena banyak penyelewengan. Uang yang ditransfer dari pusat tidak sepenuhnya digunakan untuk kepentingan masyarakat. Ada daerah yang menyalahgunakan, ada juga yang lamban menyerap sehingga pembangunan tidak berjalan maksimal,” tegas Purbaya di Jakarta, Jumat (3/10/2025).
Anggaran TKD Turun, Diganti dengan Program Pusat
Dengan pemangkasan Rp 227 triliun, alokasi TKD yang sebelumnya mencapai sekitar Rp 920 triliun, kini turun menjadi Rp 693 triliun. Meski begitu, setelah pembahasan dengan DPR, pemerintah menyetujui adanya tambahan Rp 43 triliun, sehingga sedikit mengurangi tekanan terhadap daerah.
Namun, Purbaya menegaskan bahwa secara keseluruhan anggaran pembangunan untuk daerah tidak berkurang. Pemerintah pusat justru meningkatkan porsi belanja langsung melalui berbagai program sektoral, yang nilainya naik dari Rp 900 triliun menjadi Rp 1.300 triliun.
“Kalau dibiarkan lewat jalur transfer, kita khawatir uangnya tidak sampai ke rakyat. Dengan model sekarang, pusat bisa langsung memastikan program benar-benar berjalan,” jelasnya.
Reaksi Daerah: “Kami Sulit Bergerak”
Pemangkasan TKD ini langsung memicu reaksi keras dari sejumlah kepala daerah. Beberapa bupati dan wali kota menilai, kebijakan itu bisa membuat daerah “mati langkah” dalam menyelenggarakan layanan publik.
Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), bersama beberapa wali kota termasuk dari Sulawesi Tenggara, menyoroti pentingnya dana transfer untuk menjaga keseimbangan fiskal di daerah.
“TKD bukan sekadar angka dalam APBN, tetapi jantung pembangunan di daerah. Jika dipotong terlalu dalam, bagaimana kami bisa memenuhi kewajiban di bidang kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur?” ujar salah satu kepala daerah dalam pertemuan dengan Mendagri.
Potret Penyerapan Dana Daerah
Kritik pusat sebenarnya tidak tanpa dasar. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi penyerapan dana transfer di berbagai daerah hingga pertengahan 2025 masih rendah. Bahkan, Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik di beberapa kabupaten baru terserap di bawah 10 persen.
BPK juga berkali-kali menyoroti lemahnya tata kelola keuangan daerah. Mulai dari belanja yang tidak tepat sasaran, keterlambatan pelaksanaan program, hingga praktik korupsi di sektor tertentu. Kasus penyelewengan dana desa dan proyek fiktif misalnya, kerap menjadi temuan audit tahunan.
“Jadi kalau pemerintah pusat ingin uang itu digunakan lebih transparan dan efektif, kami rasa itu langkah yang logis. Hanya saja, transisi ini memang menimbulkan guncangan di daerah,” ujar seorang analis kebijakan fiskal.
Purbaya: Ada Ruang untuk Perbaikan
Menkeu Purbaya memastikan bahwa kebijakan ini tidak bersifat permanen. Menurutnya, jika pada kuartal pertama dan kedua tahun 2026 pemerintah daerah mampu membuktikan kinerja lebih baik, transparansi meningkat, serta penyerapan anggaran lebih optimal, maka pemulihan alokasi TKD akan dipertimbangkan.
“Kalau daerah bisa membuktikan bahwa mereka bisa mengelola dengan bersih dan cepat, kita bisa kembalikan sebagian alokasi. Jadi ini bukan hukuman, tapi dorongan untuk memperbaiki sistem,” katanya.
Catatan Analis
Pengamat ekonomi politik menilai kebijakan ini membawa dua sisi. Di satu sisi, langkah pusat bisa mencegah kebocoran anggaran dan memperkuat pengendalian. Di sisi lain, ada risiko terjadinya sentralisasi pembangunan yang justru memperlebar jarak pusat dan daerah.
“Jika pusat terlalu dominan, daerah bisa kehilangan inisiatif. Padahal, yang paling tahu kebutuhan rakyat adalah daerah itu sendiri. Jadi solusi harus mencari titik tengah antara pengawasan pusat dan fleksibilitas daerah,” ujar pakar ekonomi Universitas Halu Oleo Kendari.
Pemotongan transfer daerah Rp 227 triliun jelas menimbulkan gelombang kontroversi. Pemerintah pusat berdalih langkah ini perlu untuk menghentikan penyelewengan dan mempercepat realisasi program. Namun, daerah merasa terhimpit dan khawatir pelayanan publik terganggu.
Tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan bahwa uang rakyat, baik lewat transfer maupun program pusat, benar-benar memberi manfaat nyata di lapangan.
Laporan : Redaksi





