TANAH WARISAN TEPAMBA: BERSERTIFIKAT, BERPAJAK, DAN DIKUASAI SAH — NAMUN DIRAMPAS ATAS NAMA TAMBANG

oleh -165 Dilihat

Berkabar.co – Konawe Utara. Oktober 2025. Di tengah geliat pembangunan industri pertambangan di Kabupaten Konawe Utara, tersimpan sebuah kisah yang menggugah hati dan nurani tentang ketimpangan antara rakyat dan kekuasaan ekonomi. Kisah ini bukan sekadar sengketa tanah, melainkan potret nyata bagaimana kekuatan modal sering kali menindas keadilan bagi rakyat kecil.

Kisah itu bermula jauh sebelum Indonesia merdeka, pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ketika wilayah Lasolo masih berstatus distrik. Seorang pemimpin lokal bernama Tepamba, atau dikenal dengan gelar Anakia Lasolo, diangkat sebagai kepala distrik yang diakui secara administratif oleh pemerintah kolonial dan secara sosial oleh masyarakat adat Tolaki Lasolo.

Sebagai Anakia, Tepamba memiliki peran strategis — bukan hanya memimpin rakyatnya, tetapi juga menjaga dan mengatur tata kelola tanah di wilayahnya. Tanah yang kini disengketakan merupakan warisan langsung dari Tepamba kepada keturunannya. Tanah ini telah dikuasai dan dikelola sejak tahun 1946, dan secara turun-temurun dijaga oleh anak cucunya hingga kini.

Setelah Indonesia merdeka, keturunan Tepamba terus mempertahankan hak atas tanah tersebut melalui jalur administratif resmi. Mereka tidak hanya menjaga tanah secara adat, tetapi juga mengikuti mekanisme hukum negara agar kepemilikannya diakui secara sah. Hal itu menunjukkan bahwa keluarga besar Tepamba adalah bagian dari warga negara yang taat hukum dan menghormati konstitusi.

Bukti pertama adalah Surat Penguasaan Fisik Bidang Tanah tertanggal 5 November 2010 atas nama Masruddin Tepamba, yang ditandatangani oleh Kepala Desa Pusuli, Jumadil. Surat tersebut menegaskan bahwa tanah seluas 60 hektare itu adalah warisan almarhum Tepamba dan telah dikuasai terus-menerus tanpa sengketa sejak 1946. Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997, dokumen ini merupakan alat bukti sah pendaftaran hak milik.

Bukti kedua adalah Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT–PBB) Tahun 2011, yang diterbitkan oleh KPP Pratama Kendari atas nama Masruddin Tepamba. Tanah tersebut memiliki nilai jual objek pajak (NJOP) sebesar Rp1.020.000.000 dengan luas 600.000 m². Negara tidak akan memungut pajak atas tanah tanpa dasar hukum kepemilikan, sehingga penerbitan SPPT ini menjadi pengakuan fiskal resmi negara terhadap hak keluarga Tepamba.

Bukti ketiga adalah Sertifikat Hak Milik (SHM) Tahun 2024, diterbitkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN Kabupaten Konawe Utara atas nama Masnur T., salah satu ahli waris Tepamba. Sertifikat ini lahir melalui program PRONA (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) dengan luas 6.522 m², dan menjadi bukti hukum agraria tertinggi yang dilindungi oleh UUPA Tahun 1960.

BACA JUGA:  Koalisi Kutuk Keras Oknum DPRD Sultra yang Terbitkan Surat Cacat Prosedur, Desak Ketua DPRD Segera Bertindak

Ketiga dokumen tersebut membentuk rantai legalitas sempurna — bukti historis dari masa kolonial, bukti fiskal melalui pembayaran pajak, dan bukti yuridis melalui sertifikat resmi. Dengan demikian, tanah warisan keluarga besar Tepamba di Desa Pusuli adalah tanah sah milik rakyat, bukan tanah negara atau tanah bebas seperti yang sering diklaim oleh pihak-pihak berkepentingan.

Namun pada kenyataannya, sejak tahun 2016 hingga 2017, dua perusahaan tambang besar — PT Sumber Bumi Putera (SBP) dan PT Bumi Nikel Nusantara (BNN) mulai memperluas jalan hauling tambang tanpa izin. Jalan yang semula hanya empat meter kini melebar menjadi enam belas hingga tujuh belas meter, bahkan mengikis tanah rakyat sejauh hampir delapan ratus meter.

Anehnya, pelebaran itu dilakukan tanpa sosialisasi, tanpa konfirmasi, tanpa izin, dan tanpa ganti rugi kepada pemilik lahan. Perusahaan seolah menutup mata terhadap legalitas tanah yang telah bersertifikat dan berstatus hukum tetap. Tindakan tersebut jelas menunjukkan arogansi kekuasaan modal atas hak konstitusional rakyat.

Dalam keterangan resminya, Uksal Tepamba, salah satu ahli waris dan juru bicara keluarga besar Tepamba, menyampaikan dengan tegas:

“Kami tidak menolak pembangunan, tapi kami menolak keserakahan. Tanah kami bersertifikat, kami bayar pajak, kami punya surat sah. Tapi mereka memperluas jalan tanpa izin, mengikis tanah kami seperti tidak ada hukum di negeri ini.”

Lebih lanjut, Uksal Tepamba menegaskan bahwa tindakan kedua perusahaan tambang tersebut adalah bentuk pelanggaran hukum yang nyata. “Kami tidak bicara asumsi, kami bicara bukti. Ada surat penguasaan tahun 2010, SPPT 2011, dan sertifikat tahun 2024. Semua sah. Jadi siapa yang melanggar hukum kalau bukan mereka yang menggusur tanpa izin?” ujarnya dengan nada tegas.

Secara hukum, tindakan PT SBP melanggar Pasal 385 KUHP tentang penyerobotan tanah, yang mengancam pelaku dengan hukuman hingga empat tahun penjara. Selain itu, Pasal 1365 KUHPerdata menegaskan bahwa setiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian harus diganti. Bahkan, menurut Pasal 32 UUPA Tahun 1960, sertifikat adalah bukti kuat yang wajib dilindungi oleh negara.

BACA JUGA:  Masyarakat Alenggo Apresiasi Atas Kontribusi Nyata Pembuatan Sumur Bor Oleh PT Kembar Emas Sultra

Lebih jauh, Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 menjamin hak milik pribadi setiap warga negara, dan hak tersebut tidak boleh dirampas secara sewenang-wenang oleh siapa pun. Artinya, pelebaran jalan hauling tanpa izin adalah bentuk pelanggaran terhadap konstitusi, bukan sekadar kesalahan administratif.

Keluarga besar Tepamba melalui Uksal Tepamba menuntut agar PT SBP dan PT BNN segera menghentikan seluruh aktivitas hauling yang melintasi tanah bersertifikat milik mereka. Mereka juga menuntut ganti rugi penuh atas kerusakan tanah, hilangnya nilai ekonomi, dan dampak sosial yang ditimbulkan akibat aktivitas ilegal tersebut.

Lebih jauh, keluarga Tepamba mendesak Bupati Konawe Utara, ATR/BPN, dan aparat penegak hukum untuk segera melakukan investigasi lapangan secara terbuka dan transparan. Mereka juga meminta Kementerian ESDM dan BKPM melakukan audit menyeluruh terhadap praktik penguasaan lahan oleh perusahaan tambang di Konawe Utara yang dinilai kerap mengabaikan hak-hak rakyat lokal.

Bagi keluarga besar Tepamba, tanah ini bukan sekadar lahan pertanian, melainkan lembar sejarah dari masa kolonial hingga republik. “Kami, anak cucu Tepamba, bukan menentang kemajuan, kami menentang perampasan. Karena hukum tidak boleh diam ketika rakyat diinjak oleh kekuasaan modal,” tegas Uksal dalam pernyataannya yang menggugah.

Kasus ini menjadi cermin bagi wajah negara hukum di Indonesia. Apakah hukum masih berpihak pada rakyat kecil yang memiliki bukti dan kebenaran, atau justru tunduk di bawah kekuasaan modal yang berlindung di balik bendera investasi? Keluarga Tepamba menegaskan bahwa perjuangan ini bukan sekadar persoalan tanah, tetapi persoalan martabat dan kedaulatan rakyat.

“Jika hukum diam, maka sejarah yang akan bersuara. Dan kami — keluarga besar Tepamba — adalah suara itu,” pungkas Uksal Tepamba, menutup pernyataan resminya dengan keyakinan bahwa keadilan tidak boleh dikubur oleh kepentingan ekonomi. Ia menegaskan bahwa perjuangan ini akan terus berjalan sampai negara benar-benar berdiri di pihak yang benar — di pihak rakyat yang haknya telah disahkan oleh hukum.

 

Laporan : Redaksi