Satu Kontainer SKT di Tanah Ulayat Raja Bungku XI : Fakta yang Tak Bisa Dibantah

oleh -445 Dilihat

Berkabar.co – Morowali – Sulteng. Di tengah Deru alat berat dan kepulan debu tambang, sejarah kembali menangis di tanah Bungku. Tanah ulayat peninggalan Raja Bungku XI Ahmad Hadie Al-Muqawwim Rahimakumullah, yang telah diakui secara hukum kolonial sejak tahun 1931, kini disebut-sebut telah dijadikan objek jual beli oleh sejumlah kepala desa kepada perusahaan tambang di wilayah Dampala, Lele, dan Bahomohai, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.

“Kami Tidak Menolak Pembangunan, Tapi Kami Menolak Jika Sejarah Dijual”

Hal ini disampaikan oleh Hj. Fauziah Hadie Dg. Sugi, salah satu keturunan langsung Raja Bungku Ahmad Hadie, yang kini memimpin Badan Pengurus Keluarga Besar Raja Bungku XI.

Menurutnya, praktik penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) di atas wilayah tanah ulayat dilakukan secara masif tanpa dasar hukum yang jelas.

“Kami menemukan indikasi kuat bahwa ribuan SKT diterbitkan di wilayah tanah ulayat keluarga kami.

Bahkan, pihak perusahaan sendiri mengaku memiliki dokumen SKT hampir satu kontainer.

Ini bukan administrasi biasa, tapi indikasi penyalahgunaan kewenangan,” tegas Hj. Fauziah kepada Media Berkabar.co, senin (20/10/2025).

Hukum Tidak Mengenal Dalih: SKT Bukan Bukti Kepemilikan

Dari hasil penelusuran Berkabar.co, SKT yang diterbitkan kepala desa bukanlah bukti hak milik, melainkan sekadar keterangan penguasaan lahan sementara.

Dalam hukum agraria nasional, SKT tidak boleh dijadikan dasar jual beli tanah, apalagi bila tanah tersebut memiliki asal-usul hukum yang sah seperti tanah ulayat.

Berdasarkan Pasal 26 ayat (4) huruf i Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, kepala desa dilarang menyalahgunakan wewenang.

Jika tindakan tersebut menyebabkan kerugian atau keuntungan pribadi, maka perbuatan itu bisa dijerat Pasal 421 KUHP dan Pasal 3 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999.

BACA JUGA:  LSS Umumkan Hasil Survei Opini Publik Terhadap Dinamika Politik dan Pemerintahan di Butur

“Kalau memang benar ada hampir satu kontainer SKT di tangan perusahaan, maka itu bukti bahwa praktik ini sudah keluar dari koridor hukum,” ujar salah satu pemerhati hukum agraria yang dihubungi Berkabar.co secara terpisah.

Surat Pusaka 1931 dan Fakta Hukum yang Diabaikan

Keluarga besar Raja Bungku XI memegang dokumen sejarah resmi bertanggal 10 Januari 1931, yang ditandatangani pejabat kolonial Belanda Van Buster, dengan stempel merah ZEGELWAN NED INDIE.

Surat tersebut menetapkan wilayah Sampala, Bahodopi, Tete ona, Vatupali, Lere Eya, dan Lampesue sebagai tanah pusaka Raja Bungku Ahmad Hadie.

Bukti ini diperkuat melalui Putusan Pengadilan Negeri Poso Nomor 154/Pdt.G/2022/PN Poso, yang mengakui eksistensi dokumen pusaka dan sejarah penguasaan tanah oleh keluarga Raja Bungku.

Meskipun putusan tersebut tidak secara eksplisit menetapkan kepemilikan, hakim menyatakan bukti dan asal-usul tanah itu sah secara historis dan faktual.

Wilayah Administrasi Bukan Alasan untuk Menjual Sejarah

Para kepala desa berdalih bahwa lahan tersebut berada dalam wilayah administrasi mereka, sehingga dianggap sebagai hak masyarakat desa. Padahal, wilayah administrasi tidak sama dengan kepemilikan tanah.

Dalam Pasal 76 ayat (1) UU Desa, pemerintah desa hanya berwenang mengelola aset yang berasal dari hak asal-usulnya sendiri, bukan tanah pihak lain. Artinya, penerbitan SKT atas tanah ulayat adalah bentuk penyalahgunaan wewenang dan penyesatan hukum.

Keluarga Besar Raja Bungku XI Serukan Klarifikasi Resmi

Keluarga besar Raja Bungku XI mendesak Pemerintah Kabupaten Morowali untuk menertibkan seluruh penerbitan SKT di tiga desa tersebut dan membentuk tim verifikasi asal-usul tanah bersama ATR/BPN dan pihak keluarga.

BACA JUGA:  Kisah Seorang Ex Napi yang Pernah Terluka Karena Membela Kepentingan Rakyat

“Kami tidak menolak pembangunan, tapi jangan menginjak sejarah.

Jangan jadikan jabatan kepala desa sebagai tiket untuk memperjualbelikan warisan leluhur kami,” ujar Hj. Fauziah dengan nada tegas namun berwibawa.

Pemerintah Diminta Bertindak, Jangan Jadi Penonton

Dalam situasi ini, Bupati Morowali didesak agar segera turun tangan. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa negara wajib mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat. Jika pemerintah daerah membiarkan, maka sama saja dengan mengabaikan amanat konstitusi.

“Ketika kepala desa menjual tanah ulayat dengan dalih administrasi, itu bukan lagi kebijakan — itu pelanggaran,” ujar salah satu aktivis hukum lingkungan kepada media Berkabar.co.

Tanah Bukan Sekadar Lahan, Tapi Warisan Martabat

Tanah ulayat bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga simbol martabat dan identitas.

Keluarga besar Raja Bungku meyakini, selama sejarah masih diingat, hak itu tidak akan pernah hilang.

Karena hukum boleh ditunda, tapi kebenaran tidak bisa dibungkam.

Catatan Redaksi :

Semua data hukum dalam laporan ini diverifikasi melalui dokumen pusaka tahun 1931, surat pajak (SIMANA BOETAJA_TANAE) tahun 1941-1942, surat pernyataan Najamuddin (mantan desa Siumbatu) tahun 2008, surat keterangan Nusu Lottong (Mantan Kepala Desa Dampala) tahun 2006, surat keterangan ahli waris Kemenag Morowali, serta putusan PN Poso Nomor 154/Pdt.G/2022/PN Poso.

Media Berkabar.co Tetap membuka ruang klarifikasi kepada pemerintah desa dan pihak perusahaan Terkait, mengenai isi pemberitaan Tersebut.

Laporan : Redaksi